Oleh : Melani Ika Savitri
Sebut saja namanya Bagas. Berperawakan sedang dengan kaca mata minus model
standar sebagai pengganteng wajah. Bagas berpembawaan ramah, murah senyum
dan senang bercanda. Mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, dia bisa
jadi sosok calon guru yang dipandang layak. Prestasi akademisnya di atas
rata-rata; menjadikannya incaran adik kelas dalam urusan pinjam meminjam
diktat kuliah. Sepak terjangnya di organisasi kemahasiswaan cukup
diperhitungkan.
Bagas terlahir sebagai sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang karyawan
biasa. Rumah sederhana keluarga terletak cukup jauh dari kampus. Sepeda
motor butut warisan ayahnya siap menemani pulang perginya ke kampus. Di hari
yang tak bersahabat, si motor bisa saja mogok minta istirahat. Jadilah ia ke
kampus menumpang angkutan kota yang kerap ngetem tak kenal diburu-buru.
Hari itu masuk masanya penerimaan mahasiswa baru. Bagas berperan serta dalam
kepanitiaan pastinya. Ia memilih masuk sie medis. Di sinilah awal mula ia
mengenal adik-adik kelasnya. Adik-adik kelasnya otomatis menangkap imej
Bagas sebagai sosok baik hati, bertolak belakang dengan kakak kelas yang
berperan sebagai senior antagonis. Peluang ini Bagas manfaatkan untuk
mengenalkan profil organisasi dan secara halus menggiring wajah-wajah baru
untuk masuk dalam keanggotaan.
“Kak Bagas, sudah terima undangan rapat kan? On time ya!”
“Ok, syukron.”
Sepotong dialog di suatu pagi. Kuliah, rapat, ngaji, rapat lagi. Mahasiswa
aktivis rapat, mungkin itu predikat yang cocok disandang Bagas.
“Persiapan pelatihan pengurus baru, sejauh mana perkembangannya?”
“Tujuh puluh persen siap, Kak. Terkendala di pendanaan dan akomodasi.”
Program organisasi yang nggak ada habisnya, masa kuliah yang masih sekian
SKS, melenakan Bagas demikian lama. Cukup lama sampai dia lalai dengan
kesehatannya. Dia tipikal orang yang malas minum air putih, doyannya ngeteh
atau ngopi. Biarpun bukan anak kos, gaya hidup dan pola makannya sebelas dua
belas dengan anak kos. Kebiasaan buruknya juga terlihat dari kebiasaan
menenggak obat dan suplemen sembarangan. Tiap akhir semester, dopingnya
ugal-ugalan, agar mata kuat melek saat sistem kebut semalam terpaksa
dilakoni.
“Ke belakang lagi, Zan?”
“Hehe, iya Kak. Kok bisa sih antum nggak sering-sering ke belakang,
dingin-dingin begini?”
“Beda kali, kan beda orang beda kebiasaan.”
Ya, itu sedikit penggambaran tentang kebiasaan tak wajar Bagas.
“Selamat ya, Kak. Terpilih sebagai lulusan terbaik dengan IPK
tertinggi.”
“Alhamdulillah, syukron ya, terima kasih atas dukungan kalian.”
Wisuda usai. Bagas melepas status mahasiswa aktivis. Sekarang statusnya
berganti menjadi sarjana pengajar dan calon entrepreneur.
Di lain sisi, kondisi badannya mulai drop tanpa mendapat perhatian serius.
Selera makannya berkurang drastis, sering ia merasa mual, bahkan pernah
muntah-muntah di tempat kerja. Kalau diperhatikan lebih jeli, wajahnya
terlihat letih dan kuyu, mirip gejala kurang darah. Tapi bukan Bagas namanya
kalau merehatkan diri. The show must go on.
Teman-teman akrabnya dikejutkan oleh berita jatuh sakitnya Bagas suatu hari.
Menurut sumber yang shohih, Bagas didiagnosa mengidap gagal ginjal atau
penyakit ginjal kronis. Mau tak mau Bagas harus menginap di bangsal putih
cukup lama. Rekan-rekannya syok dan turut prihatin. Sosok aktivis yang
sering mereka jadikan tempat curhat dan meminta bantuan, sedang terkulai
lemah. Satu persatu rekan menjenguk dan menyuntikkan semangat.
“Kita ke rumah Kak Bagas serombongan ya, besok.”
“Siapa yang jadi penunjuk arah nih? Ada yang udah pernah ke sana?”
“Fauzan dan Lukman udah tahu jalannya.”
Secuil percakapan dari adik-adik kelas Bagas di kampus. Di antara mereka ada
yang telah membesuk ke rumah sakit dan membesuk lagi ke rumah.
“Apa sudah lebih baik kondisi antum, Kak?”
“Alhamdulillah, seperti yang kalian lihat.”
“Tetap optimis Kak, insya Allah sakitnya jadi penggugur dosa.”
“Pastinya dong. Nanti siapa yang akan mengomeli kalian kalau saya nggak
cepat sehat?”
Di sela percakapan, Bagas tetap memperlihatkan senyum lebar ala iklan pasta
gigi diselingi humor. Para pembesuknya jadi salah tingkah. Padahal jelas
terlihat Bagas masih lemah dan tubuhnya kurus.
Cuci darah, mengonsumsi obat, medical check-up rutin, jadi menu utama Bagas
semenjak mengidap penyakit ini. Selama beberapa bulan, kegiatan tersebut
otomatis melumpuhkan aktivitas Bagas. Untuk sementara waktu, Bagas
menghilang dari hiruk pikuk pergerakan kampus.
Bagas memang terlihat tegar dan menyunggingkan senyum di luar, namun
sesungguhnya sakitnya jelas berdampak pada keluarganya. Biaya pengobatan
yang tak sedikit, tenaga yang terkuras untuk mendampingi Bagas, serta beban
pikiran kedua orang tuanya tentang alternatif penyembuhan; adalah segelintir
persoalan yang timbul.
“Terbersit keinginan menyerah di benakku. Baik ayah maupun ibu tidak akan
bersedia menjadi donor jika sampai dihadapkan pada pilihan transplantasi.”
Itu sekilas curahan hati Bagas pada seorang adik kelas. Entah itu seratus
persen benar ataukah semata pikiran negatif; akumulasi kelelahan fisik dan
mentalnya, yang jelas pernyataan itu memiriskan hati yang mendengarnya.
Tetapi alangkah benar firman Allah bahwa Dia tidak akan menguji seorang
hamba di luar batas kemampuannya. Apa yang harus kita pikul pasti dapat kita
pikul. Berkat silaturahmi yang terjaga dengan teman-teman baiknya, Bagas
perlahan bangkit dari keterpurukan.
“Bagaimana, tertarik nggak ikut jadi reseller produk? Atau coba aja dulu
buat konsumsi pribadi.”
“Boleh, Kak. Saya coba beli beberapa. Syukron infonya.”
Bagas lega, ikhtiarnya membuka pintu rejeki dimudahkan. Bermula dari
ketertarikannya berobat dengan pengobatan herbal, kini ia justru terjun
dalam pemasaran sebuah produk herbal. Kondisinya yang membaik juga
memungkinkannya mengajar meski hanya di beberapa kelas privat.
“Masya Allah, ada sesepuh rupanya. Apa kabar, Kak?”
Begitulah sapaan hangat fans Bagas di kampus. Adik kelas dan teman
seangkatan yang aktif di organisasi yang sama, menyambut kemunculan Bagas
dengan antusias. Sore itu tengah berlangsung rapat dan kajian rutin. Bagas
yang terlihat lebih gemuk, hadir dengan wajah sumringah.
Tak terasa, kalender baru dibuka. Tahun ini usia Bagas genap seperempat
abad. Beberapa teman seangkatan telah resmi menanggalkan status jomblo
mereka. Bagas selalu menyempatkan hadir memenuhi undangan. Sebagai lelaki
normal yang beridealisme tinggi tentang pernikahan, pasti terbersit
keinginan menyusul. Tapi dia tahu diri. Perempuan normal mana yang mau
dengan seorang bujang miskin yang penyakitan sepertinya?
“Antum mau nggak ta’aruf dengan seseorang?”
Ta’aruf, penjajakan syar’i menuju pernikahan? Tapi tak mungkin lah
temannya ini bergurau tentang hal seserius ini, begitu pikir Bagas.
“Dengan siapa?”
“Dewi, teman seangkatan kita. Dia bersedia berta’aruf dengan antum.”
Kaget Bagas dibuatnya. Apa dia tidak salah dengar? Dewi yang dikenalnya,
satu angkatan semasa kuliah. Mereka mengambil jurusan berbeda namun sering
berinteraksi di organisasi.
Ketika teman-temannya mengucapkan selamat, Bagas membalas dengan permintaan
doa. Dia berharap didoakan untuk kesehatan dan kesembuhannya.