Oleh : Ulfa Romlah
Sepoi sang bayu gemerisik,
Menembus, menelusup relunganku
Menyibak, merasuki alam bawah sadar yang bergelayut dalam angan.
Gusti, apakah ini?
Langit telah berselimutkan gelap,
Seumpama putih bertutup hitam kelam.
Terlihat hanya kedip bintang mengisyaratkan bayangan.
Rembulan tersenyum membujukku berkelana,
Menyusuri lapisan-lapisan langit sap tujuh
Baiklah baginda, akan ku rasuki lakon ini
Perlahan ku tapaki alur cerita bak lakon dalam pewayangan.
Dari sudut ruang tak sengaja aku menyaksikan begitu kerasnya alur
kehidupan, menguji kesabaran sambil melatih apa yang disebut keikhlasan. Aku
semakin yakin bahwa apa yang telah Tuhan anugerahkan dan hadirkan dalam
kehidupan seseorang bukanlah sebuah kebetulan. Lebih dari itu apa yang
menjadi jalan kehidupan hamba-Nya adalah sebuah keniscayaan akan takdir yang
telah tergariskan kisahnya. Sembari aku mendalami apa yang terekam dalam
memori, sambil kembali aku membuka gulungan-gulungan kisah yang telah lama
terpendam, namun justru menjadi sebuah cambukkan untuk selalu berlari lebih
cepat. Menguras tenaga, memutar otak, mempelajari hal-hal diluar kebiasaan
untuk meraih apa yang disebut impian, apa yang dikatakan sebagai cita-cita
dan wujud nyata dari sebuah kebahagiaan. Lembaran memori yang terbuka kini
berlanjut pada halaman sebelumnya, ya ini memang benar dan ini adalah jalan
agar semakin terbuka pintu demi pintu menuju sebuah perjalanan ke belantara
yang akan semakin luas. Lorong-lorong gelap dengan setitik cahaya yang
bersumber dari nyala lilin yang semakin terkikis seolah menerangi jalanku
untuk menjelajahi memori yang melandasi tapakkan kakiku.
Aku seolah menjadi saksi bisu akan sebuah perjalanan yang begitu panjang,
namun bermuara pada hakikat kebahagiaan yang memang telah dijanjikan oleh
Tuhan. Aku hanya terdiam dalam lamunan, membayangkan satu demi satu,
mengejawantahkan ungkapan demi ungkapan yang selalu melintas dalam anganku.
Inikah kisah tentang arti keadilan takdir Tuhan?. Aku tak ingin memaknai ini
sepenggal, hanya saja inilah wujud berkah Tuhan untuk hamba-Nya. Masih
terdengar jelas jerit tangis bayi tak berdosa itu, yang diperebutkan ayah
bundanya. Bayi yang masih merah kulitnya, masih lunglai ototnya, dan masih
muda tulang penyusun tubuhnya. Namira, begitulah sapaan manis bidadari kecil
yang belum mengerti makna kerasnya batuan di bumi, yang belum paham akan
hakikat hidup dan kehidupan namun telah dihadapkan pada sebuah kenyataan
pahit tidak sempurnanya kasih sayang yang akan didapatkan dan perihnya
perpisahan. Nurani seorang ibu tak akan pernah bisa tertipu, pelukkan dan
dekapan seorang ibu akan ratusan bahkan ribuan kali lebih kuat dari pada
rangkulan insan yang lainnya. Namira, tetaplah putri kecil yang tak pernah
lepas dari dekap bundanya, sekalipun nyawa taruhannya.
Rabb Yang Maha Sempurna,
Penyempurna cinta yang haqiqi.
Tuhanku, sempurnakanlah rentetan ini
Muliakanlah sebuah hati yang Engkau anugerahkan ini
Naungilah puteri kecil yang telah Enngkau ciptakan
Dengan hangatnya Rahmad-Mu Yaa Rabb.
Semakin dalam aku menjelajahi samudera kehidupan Namira, maka semakin aku
mendekat dan semakin aku tahu apa yang tersuratkan dan telah ditakdirkan
Tuhan untuk dia adalah benar sebuah keniscayaan menuju lorong kebahagiaan
bukan lagi lorong gelap yang tak berpenghuni. Masa kecil Namira memang tak
seperti kebanyakan gadis kecil yang menghabiskan waktunya untuk
bermanja-manja dengan sang bunda. Namira kecil harus menangis setiap malam,
tersedu setiap kali mengingat bundanya diperantauan. Bunda yang berjuang dan
mengadu nasib di Negeri orang untuk buah hatinya. Namira mengerti akan makna
perjuangan bundanya, namun Namira tetaplah Namira. Gadis kecil yang
merindukan bunda yang dikasihinya. Bahkan ketika sang bunda tak lagi berada
di Negeri orang dengan tulus ikhlas sang bunda mengabdi mengasuh anak
tetangga, bahkan berjualan jajanan disetiap pertandingan volly dilapangan
dekat tempat tinggal Namira. Gadis kecil ini tak mau diam begitu saja, dia
bersemangat tanpa menghiraukan rasa malunya membantu sang bunda berkeliling
kampong menjajakan gorengan apabila tak ada pertandingan.
Peluh,
Haru, tangisan,
Seolah menjadi kebiasaan.
Panas, terik,
Gerimis, hujan deras,
Mengiringi setiap langkah perjalanan.
Namira tetaplah gadis polos, dengan modal mimpi setinggi langit dengan
bumbu keyakinan dan semangat yang membara untuk terlepas dari belenggu
nestapa. Tuhan akan memberikan berkah kebahagiaan tak terkira, walaupun
Namira sering menahan tangis kerinduan terhadap ayahnya. Tangisnya semakin
menjadi tatkala ia teringat akan sosok kakak laki-lakinya. Kakak yang telah
berada di alam yang berbeda dengan dirinya, namun entahlah Namira juga tak
mengerti mengapa bayang-bayang sang kakak terlalu jauh menembus sanubarinya.
Namira tumbuh menjadi remaja yang selalu ingin membuat sang bunda menangis
bangga akan prestasinya.
Aku seolah tak ada hentinya menelusuri lorong demi lorong kisah ini, dengan
sendu yang tiada berlagu, dengan irama yang tak jua bersuara namun hanya
mengisak penuh tanda tanya. Kisah ini semakin menuju pada klimaksnya. Namira
ingin melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, namun sang bunda ragu akan
kemampuan finansial yang dimiliki. Tanpa sepengetahuan Namira, sang bunda
sebenarnya telah mempersiapkan tabungan pendidikan Namira. Sang bunda
khawatir tak kuasa memenuhi kebutuhan Namira untuk melanjutkan studinya.
Hampir saja terkulai,
Hanya lemah bergantung pada mimpi-mimpi penuh takjub
Tak tahu muaranya
Penuh harap, penuh haru
Bersimpuh, dan bersimpuh,
Pasrah, memang pasrah
Namira bertekad mengikuti tahap demi tahap seleksi masuk perguruan tinggi.
Dua kali seleksi telah dilalui, namun namanya tak juga muncul dalam daftar
calon mahasiswa yang diterima diperguruan tinggi tersebut. Namira hampir
berputus asa dan menyerahkan semua kepada Tuhan. Upayanya seolah telah
berhenti sampai pada sebuah titik tersebut. Andaikan jatah kegagalan itu
dapat dihabiskan sekarang, maka ia ingin melahap habis semuanya dimasa lalu
dan hanya sukses yang didapatinya sekarang. Ia hanya bertanya-tanya
mungkinkah petunjuk yang senantiasa muncul dalam setiap sujudnya hanyalah
bayang semu karena harapannya yang terlalu besar, dan impiannya yang terlalu
membumbung tinggi. Entahlah, namun Tuhan memang tidak membiarkan hambanya
dalam nestapa. Pengumuman selanjutnya memunculkan nama Namira pada daftar
mahasiswa yang diterima diperguruan tinggi yang didambakannya.
“ Mungkin benar, setiap orang memiliki jatah kegagalan masing-masing.
Hanya saja ikhtiar dan doa yang tiada henti, diiringi pengharapan dan
bersimpuh merendah kepada Sang Pencipta bumi dan langit beserta seisinya
adalah hal yang lebih menakjubkan untuk dilakukan. Bergegas bangun dan
tersadar untuk mengejar harapan meraih mimpi adalah sebuah hakikat yuang
tiada salahnya untuk dilakukan hingga kegagalan itu letih dan tak mampu lagi
mengejar diri kita. Kuas ditanganmu, lukiskan mimpi-mimpi yang telah
berterbangan dianganmu menjadi sebuah realita yang patut untuk diapresiasi
dan dibanggakan”.
Menembus, menelusup relunganku
Menyibak, merasuki alam bawah sadar yang bergelayut dalam angan.
Gusti, apakah ini?
Langit telah berselimutkan gelap,
Seumpama putih bertutup hitam kelam.
Terlihat hanya kedip bintang mengisyaratkan bayangan.
Rembulan tersenyum membujukku berkelana,
Menyusuri lapisan-lapisan langit sap tujuh
Baiklah baginda, akan ku rasuki lakon ini
Perlahan ku tapaki alur cerita bak lakon dalam pewayangan.
Dari sudut ruang tak sengaja aku menyaksikan begitu kerasnya alur
kehidupan, menguji kesabaran sambil melatih apa yang disebut keikhlasan. Aku
semakin yakin bahwa apa yang telah Tuhan anugerahkan dan hadirkan dalam
kehidupan seseorang bukanlah sebuah kebetulan. Lebih dari itu apa yang
menjadi jalan kehidupan hamba-Nya adalah sebuah keniscayaan akan takdir yang
telah tergariskan kisahnya. Sembari aku mendalami apa yang terekam dalam
memori, sambil kembali aku membuka gulungan-gulungan kisah yang telah lama
terpendam, namun justru menjadi sebuah cambukkan untuk selalu berlari lebih
cepat. Menguras tenaga, memutar otak, mempelajari hal-hal diluar kebiasaan
untuk meraih apa yang disebut impian, apa yang dikatakan sebagai cita-cita
dan wujud nyata dari sebuah kebahagiaan. Lembaran memori yang terbuka kini
berlanjut pada halaman sebelumnya, ya ini memang benar dan ini adalah jalan
agar semakin terbuka pintu demi pintu menuju sebuah perjalanan ke belantara
yang akan semakin luas. Lorong-lorong gelap dengan setitik cahaya yang
bersumber dari nyala lilin yang semakin terkikis seolah menerangi jalanku
untuk menjelajahi memori yang melandasi tapakkan kakiku.
Aku seolah menjadi saksi bisu akan sebuah perjalanan yang begitu panjang,
namun bermuara pada hakikat kebahagiaan yang memang telah dijanjikan oleh
Tuhan. Aku hanya terdiam dalam lamunan, membayangkan satu demi satu,
mengejawantahkan ungkapan demi ungkapan yang selalu melintas dalam anganku.
Inikah kisah tentang arti keadilan takdir Tuhan?. Aku tak ingin memaknai ini
sepenggal, hanya saja inilah wujud berkah Tuhan untuk hamba-Nya. Masih
terdengar jelas jerit tangis bayi tak berdosa itu, yang diperebutkan ayah
bundanya. Bayi yang masih merah kulitnya, masih lunglai ototnya, dan masih
muda tulang penyusun tubuhnya. Namira, begitulah sapaan manis bidadari kecil
yang belum mengerti makna kerasnya batuan di bumi, yang belum paham akan
hakikat hidup dan kehidupan namun telah dihadapkan pada sebuah kenyataan
pahit tidak sempurnanya kasih sayang yang akan didapatkan dan perihnya
perpisahan. Nurani seorang ibu tak akan pernah bisa tertipu, pelukkan dan
dekapan seorang ibu akan ratusan bahkan ribuan kali lebih kuat dari pada
rangkulan insan yang lainnya. Namira, tetaplah putri kecil yang tak pernah
lepas dari dekap bundanya, sekalipun nyawa taruhannya.
Rabb Yang Maha Sempurna,
Penyempurna cinta yang haqiqi.
Tuhanku, sempurnakanlah rentetan ini
Muliakanlah sebuah hati yang Engkau anugerahkan ini
Naungilah puteri kecil yang telah Enngkau ciptakan
Dengan hangatnya Rahmad-Mu Yaa Rabb.
Semakin dalam aku menjelajahi samudera kehidupan Namira, maka semakin aku
mendekat dan semakin aku tahu apa yang tersuratkan dan telah ditakdirkan
Tuhan untuk dia adalah benar sebuah keniscayaan menuju lorong kebahagiaan
bukan lagi lorong gelap yang tak berpenghuni. Masa kecil Namira memang tak
seperti kebanyakan gadis kecil yang menghabiskan waktunya untuk
bermanja-manja dengan sang bunda. Namira kecil harus menangis setiap malam,
tersedu setiap kali mengingat bundanya diperantauan. Bunda yang berjuang dan
mengadu nasib di Negeri orang untuk buah hatinya. Namira mengerti akan makna
perjuangan bundanya, namun Namira tetaplah Namira. Gadis kecil yang
merindukan bunda yang dikasihinya. Bahkan ketika sang bunda tak lagi berada
di Negeri orang dengan tulus ikhlas sang bunda mengabdi mengasuh anak
tetangga, bahkan berjualan jajanan disetiap pertandingan volly dilapangan
dekat tempat tinggal Namira. Gadis kecil ini tak mau diam begitu saja, dia
bersemangat tanpa menghiraukan rasa malunya membantu sang bunda berkeliling
kampong menjajakan gorengan apabila tak ada pertandingan.
Peluh,
Haru, tangisan,
Seolah menjadi kebiasaan.
Panas, terik,
Gerimis, hujan deras,
Mengiringi setiap langkah perjalanan.
Namira tetaplah gadis polos, dengan modal mimpi setinggi langit dengan
bumbu keyakinan dan semangat yang membara untuk terlepas dari belenggu
nestapa. Tuhan akan memberikan berkah kebahagiaan tak terkira, walaupun
Namira sering menahan tangis kerinduan terhadap ayahnya. Tangisnya semakin
menjadi tatkala ia teringat akan sosok kakak laki-lakinya. Kakak yang telah
berada di alam yang berbeda dengan dirinya, namun entahlah Namira juga tak
mengerti mengapa bayang-bayang sang kakak terlalu jauh menembus sanubarinya.
Namira tumbuh menjadi remaja yang selalu ingin membuat sang bunda menangis
bangga akan prestasinya.
Aku seolah tak ada hentinya menelusuri lorong demi lorong kisah ini, dengan
sendu yang tiada berlagu, dengan irama yang tak jua bersuara namun hanya
mengisak penuh tanda tanya. Kisah ini semakin menuju pada klimaksnya. Namira
ingin melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, namun sang bunda ragu akan
kemampuan finansial yang dimiliki. Tanpa sepengetahuan Namira, sang bunda
sebenarnya telah mempersiapkan tabungan pendidikan Namira. Sang bunda
khawatir tak kuasa memenuhi kebutuhan Namira untuk melanjutkan studinya.
Hampir saja terkulai,
Hanya lemah bergantung pada mimpi-mimpi penuh takjub
Tak tahu muaranya
Penuh harap, penuh haru
Bersimpuh, dan bersimpuh,
Pasrah, memang pasrah
Namira bertekad mengikuti tahap demi tahap seleksi masuk perguruan tinggi.
Dua kali seleksi telah dilalui, namun namanya tak juga muncul dalam daftar
calon mahasiswa yang diterima diperguruan tinggi tersebut. Namira hampir
berputus asa dan menyerahkan semua kepada Tuhan. Upayanya seolah telah
berhenti sampai pada sebuah titik tersebut. Andaikan jatah kegagalan itu
dapat dihabiskan sekarang, maka ia ingin melahap habis semuanya dimasa lalu
dan hanya sukses yang didapatinya sekarang. Ia hanya bertanya-tanya
mungkinkah petunjuk yang senantiasa muncul dalam setiap sujudnya hanyalah
bayang semu karena harapannya yang terlalu besar, dan impiannya yang terlalu
membumbung tinggi. Entahlah, namun Tuhan memang tidak membiarkan hambanya
dalam nestapa. Pengumuman selanjutnya memunculkan nama Namira pada daftar
mahasiswa yang diterima diperguruan tinggi yang didambakannya.
“ Mungkin benar, setiap orang memiliki jatah kegagalan masing-masing.
Hanya saja ikhtiar dan doa yang tiada henti, diiringi pengharapan dan
bersimpuh merendah kepada Sang Pencipta bumi dan langit beserta seisinya
adalah hal yang lebih menakjubkan untuk dilakukan. Bergegas bangun dan
tersadar untuk mengejar harapan meraih mimpi adalah sebuah hakikat yuang
tiada salahnya untuk dilakukan hingga kegagalan itu letih dan tak mampu lagi
mengejar diri kita. Kuas ditanganmu, lukiskan mimpi-mimpi yang telah
berterbangan dianganmu menjadi sebuah realita yang patut untuk diapresiasi
dan dibanggakan”.