MENU

Mak Eng Sang Dalang Sandiwara

Mak Eng Sang Dalang Sandiwara

Mak Eng Sang Dalang Sandiwara

Iklan di sini
Oleh : Kusyoto


Usiaku sekitar tujuh tahun di kala emak yang waktu itu masih sangat muda selalu membawa aku dan adikku jika ada pertunjukan sandiwara keliling. Aku Manik Putih dan adikku Sulendra selalu di ajaknya ikut serta. Pada masa ke emasannya. Sandiwara keliling sangat di gandrungi oleh semua lapisan dan kalangan masyarakat di daerahku yang dulu bernama padukuhan lemban Cimanuk.

    Keluarga kami merupakan keluarga seniman. Begitu yang aku ketahui semenjak aku terlahir di muka bumi ini. Almarhum pamanku mamang Sail adalah dalang sandiwara serba bisa, dalam arti bisa memerankan tokoh apa saja sesuai dengan alur cerita yang di tulis oleh ayahku sebagai seorang sutradara.

“Manik, besok hari minggu. Emak dan ayahmu akan manggung di desa Pekandangan.” Kata emak satu hari. Ketika Manik Putih baru pulang sekolah. Sedangkan Sulendra adik Manik Putih yang kala itu berumur lima tahun hanya bergayut manja di pelukan emaknya.

“Manik boleh ikut kan mak?” ujar Manik Putih dengan nada memohon.

“Iya boleh….” Kata emaknya membuat Manik Putih kegirangan. Bocah kelas dua sekolah dasar ini begitu senang jika di ajak serta menemani ayah dan emaknya manggung.

“Sulendra di ajak juga mak?” tanya Manik Putih lantas menjambak rambut Sulendra, adiknya.

“Desa yang akan kita tuju sangat jauh Manik. Kasihan Sulendra, biarlah dia tinggal bersama neneknya di rumah.” Menjelaskan emak.

“Berapa hari mak di desa Pekandangan?”

“Paling besok lusa kita bisa pulang.”

“Asik…, Manik bisa naik mobil lagi….Manik mau naik mobil lagi.” Jingkrak Manik Putih membuat emaknya tersenyum.

    Sudah menjadi kebiasan keluarga kami para seniman sandiwara keliling yang akan mengadakan pentas, selalu mencarter mobil gerobak untuk memuat perlengkapan dan alat-alat sandiwara. Manik Putih selalu mengharapkan keluarganya di tanggap atau melakukan pertunjukan manggung di luar desanya. Dan mobil gerobak inilah barang yang sangat mewah waktu itu bagi anak seusia Manik Putih.

    Ketika aku dan adik lelakiku diajak pentas oleh emak. Emak senantiasa membuatkan ayunan dari kain sarung yang di sangkutkan di pinggir panggung. Dengan gembira kami berdua berayun-ayun dan sesekali tawa kami berderai jikalau adegan mamang Goeng sang badut mulai beraksi mempertunjukan kebolehannya melawak.

oOo

    Jam tiga pagi dini hari. Di saat mang Goeng mulai beraksi dengan gaya kocak dan banyolannya yang selau di sambut Geeeerrrr…! Oleh para penonton. Manik Putih dan Sulendra sang adik di bangunkan emak. Sepiring nasi goreng dari panitia sang empunya hajat terhidang untuk semua anak wayang istilah sebutan dalang yang di pakai oleh ayahku.

“Manik dan Sule makan dulu ya….” Kata emak sambil menyuapi kami berdua dengan tangannya yang lembut dan penuh kasih sayang.

“Emak belum naik ke panggung?” tanya Manik Putih sambil mengunyah nasi goreng ala anak wayang. Berupa nasi putih yang di goreng dengan irisan bawang, cabe dan kecap. Sungguh nikmat sekali rasanya saat itu.

“Baru saja emak selesai pentas….” Kata emak pelan. Di sodorkannya kembali nasi goreng nikmat itu pada diri ku. Sedangkan adik mulai mengantuk dan tidur kembali.

“Emak jadi apa tadi…?” tanya Manik Putih antusias. Bocah tujuh tahun ini selalu senang jika emaknya memerankan seorang ratu yang sangat berkusa semisal nyai ratu segara kidul atau nyi roro kidul.

“Emak tadi berperan sebagai pendekar wanita pembela kebenaran….” Kata emaknya sambil tersenyum.

“Wah….,hebat mak. Besok-besok bangunkan Manik di saat emak memerankan pendekar wanita lagi ya mak.” Kata Manik Putih di jawab anggukan kasih dari emaknya.

“Ya sudah sekarang tidur lagi ya. Besok kan Manik harus sekolah.” Ujar emaknya di jawab anggukan kecil dari Manik Putih. Lantas bocah ini berbaring kembali di samping Sulendra, adiknya yang tampak tertidur pulas. Sang emak dengan lembut menyelimuti anak-anaknya dengan kain tapih yang selalu di bawanya ketika manggung.

oOo

    Saat sedang tidak ada tawaran manggung. Kami sekeluarga menghabiskan waktu dengan berlatih menabuh gamelan. Aku selalu kebagian memukul gamelan berupa gong besar. Kadang emak mengajari Manik Putih menari serimpi. Sebuah tarian selamat datang atau pembuka. Walau Manik Putih seorang laki-laki. Namun, kecakapan gaya dan keluesannya dalam membawakan sebuah tarian begitu sempurna.

    Sementara anggota anak wayang yang lain memperdalam gerakan-gerakan silat dan adu tanding yang memerankan sebagai prajurit atau pendekar. Di bawah arahan ayah ku. Semua anggota anak wayang giat berlatih. Dan memang hasil dari latihan-latihan itu membuat rombongan sandiwara yang di kelola ayah banyak tawaran manggung.

    Mengeni pendidikan, emak sangat ketat. Jika Manik Putih malas mengerjakan pekerjaan rumah. Emak selalu bilang tidak akan di ajak lagi jika ada tawaran manggung di daerah lain. Dan peringatan emak memang manjur. Mana mau Manik Putih melewatkan begitu saja bepergian ke luar daerah dengan naik mobil gerobak kesayangannya.

“Manik, harus terus sekolah. Sekolah itu penting buat masa depan mu. Manik.” Kata emak satu hari sambil mengajarkan pelajaran yang tidak bisa aku mengerti.

“Manik mau jadi dalang sandiwara seperti emak.”

“Manik. Menjadi dalang sandiwara itu capek. Cukup emak dan ayahmu saja yang menjalani hidup sebagai seorang seniman. Kamu dan adik mu, kelak harus menjadi orang lebih berhasil lagi.” Nasehat emak pada ku itu, sampai sekarag terus mengiang di otak dan benak ku.

“Baik mak….” Ujar Manik Putih pelan. Padahal jauh di relung hati bocah sekolah dasar ini keinginan menjadi dalang atau anak wayang sandiwara yang di kelola ayahnya begitu membuncah di dalam pikirannya.

oOo

    Waktu terus bergulir. Zaman terus berubah. Dan kehidupan emak sebagai dalang sandiwara terus berjalan. Hingga, satu ketika di saat Manik Putih beranjak dewasa. Di saat banyak sandiwara-sandiwara keliling yang lainnya bermunculan. Grup sandiwara yang di kelola ayah mulai redup. Tawaran mangung ke luar desa mulai jarang. Persaingan ketat antar anak wayang tidak bisa di elakkan.

    Satu persatu. Anak wayang yang di kelola ayah mulai mengundurkan diri, bergabung dengan grup sandiwara lain yang gemanya mulai menggesar keberadaan sandiwara yang di kelola ayah. Sampai akhirnya ayah memutuskan menjual asset sandiwara kelilingnya.

    Berakhirlah masa-masa ke emasan ayah sebagai seorang sutradara sandiwara keliling. Habis sudah kesempatan emak menjadi pendekar wanita pembela kebenaran atau sang ratu yang sangat berkuasa.

    Namun satu pesan emak yang selalu mengiang di dalam dada. Pendidikan nomor satu. Pendidikan diatas segala-galanya. Dengan ilmu kamu bisa maju. Dengan ilmu kamu bisa menggenggam dunia. Ilmu akan senantiasa menjagamu.

    Sungguh sebuah pembelajaran hidup yang sangat berharga dari kehidupan emak sebagai bekas dalang sandiwara keliling.

Iklan di sini

Share this:

Share this with short URL: Get Short URL loading short url
Iklan di sini
Disqus
Blogger
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments

Gunakan kode <i rel="image">URL GAMBAR DI SINI</i> untuk menyertakan gambar di komentar.

Gunakan konversi tool jika ingin menyertakan kode.
How to style text in Disqus comments:
  • To write a bold letter please use <strong></strong> or <b></b>.
  • To write a italic letter please use <em></em> or <i></i>.
  • To write a underline letter please use <u></u>.
  • To write a strikethrought letter please use <strike></strike>.
  • To write HTML code, please use <code></code> or <pre></pre> or <pre><code></code></pre>, and please parse the code in the parser box below.
Show Parser Box